Pengetahuan

Force Majeure: Alasan Legal Buat Kabur dari Kewajiban Kontrak!

×

Force Majeure: Alasan Legal Buat Kabur dari Kewajiban Kontrak!

Sebarkan artikel ini
Force Majeure: Alasan Legal Buat Kabur dari Kewajiban Kontrak!
Force Majeure: Alasan Legal Buat Kabur dari Kewajiban Kontrak! (www.freepik.com)
  • Penundaan Kewajiban: Pihak yang terkena dampak force majeure mungkin diperbolehkan untuk menunda pelaksanaan kewajibannya sampai keadaan kembali normal.
  • Pemutusan Kontrak: Dalam beberapa kasus, jika force majeure berlangsung terlalu lama dan membuat pelaksanaan perjanjian menjadi mustahil, kontrak bisa saja diputus secara sepihak atau berdasarkan kesepakatan bersama.
  • Pengecualian Tanggung Jawab: Pihak yang terkena dampak force majeure biasanya dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya.

Batasan Force Majeure: Nggak Semua Alasan Bisa Jadi Pembenaran

Meskipun force majeure bisa jadi penyelamat, ada batasan-batasannya juga lho. Beberapa situasi yang biasanya nggak dianggap sebagai force majeure antara lain:

  • Kesalahan atau Kelalaian Pihak: Jika ketidakmampuan melaksanakan kewajiban disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak itu sendiri, maka itu bukan force majeure.
  • Perubahan Kondisi Ekonomi: Fluktuasi mata uang, inflasi, atau perubahan kondisi pasar biasanya nggak termasuk dalam kategori force majeure, kecuali jika dalam kontrak disebutkan secara spesifik.
  • Hal-hal yang Sebenarnya Bisa Diprediksi: Kejadian-kejadian yang sebenarnya sudah bisa diprediksi atau diantisipasi sebelumnya biasanya nggak bisa dijadikan alasan force majeure.

Langkah-Langkah Penting Saat Menghadapi Force Majeure

Kalau kamu atau bisnismu terkena dampak force majeure, ada beberapa langkah penting yang perlu diambil:

  1. Segera Beritahu Pihak Lain: Sesuai dengan klausul dalam kontrak, segera beritahukan pihak lain secara tertulis tentang terjadinya force majeure dan bagaimana dampaknya terhadap kemampuanmu untuk memenuhi kewajiban.
  2. Kumpulkan Bukti-Bukti: Dokumentasikan semua kejadian dan dampak yang ditimbulkan oleh force majeure. Bukti-bukti ini akan sangat penting untuk mendukung klaimmu.
  3. Diskusikan Solusi Terbaik: Ajak pihak lain untuk berdiskusi mencari solusi terbaik. Mungkin ada opsi untuk menunda pelaksanaan, melakukan negosiasi ulang, atau bahkan mengakhiri kontrak secara baik-baik.
Baca Juga :  Makhluk Dua Kelamin Itu Nyata? Ini Penjelasan Ilmiah Hermafrodit

Force Majeure dalam Dunia Bisnis: Lebih dari Sekadar Istilah Hukum

Dalam dunia bisnis, pemahaman tentang force majeure itu sangat penting. Perusahaan perlu memiliki rencana kontingensi untuk menghadapi situasi-situasi tak terduga yang bisa mengganggu operasional mereka. Contohnya, perusahaan konstruksi mungkin menghadapi force majeure jika terjadi banjir besar yang menghambat proyek pembangunan. Perusahaan pariwisata tentu sangat merasakan dampak force majeure saat pandemi melanda dan pembatasan perjalanan diberlakukan.

Menurut data dari berbagai sumber, termasuk laporan dari perusahaan asuransi dan konsultan hukum, klaim force majeure meningkat signifikan selama pandemi COVID-19. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya klausul ini dalam melindungi bisnis dari risiko-risiko eksternal yang tidak terduga.

Bedanya Force Majeure Sama Hardship Apa? Jangan Sampai Ketuker!

Mungkin kamu pernah dengar istilah hardship juga. Meskipun sekilas mirip, force majeure dan hardship itu beda ya. Kalau force majeure itu membuat pelaksanaan kewajiban benar-benar mustahil, hardship lebih mengarah pada kondisi di mana pelaksanaan kewajiban masih mungkin dilakukan, tapi menjadi sangat sulit atau merugikan secara tidak wajar bagi salah satu pihak. Biasanya, klausul hardship mengatur tentang kemungkinan negosiasi ulang kontrak jika terjadi perubahan kondisi yang signifikan.

Kalau Ada Sengketa Soal Force Majeure, Gimana Cara Menyelesaikannya?

Kalau terjadi perselisihan mengenai apakah suatu kejadian termasuk force majeure atau tidak, atau bagaimana dampaknya terhadap perjanjian, biasanya penyelesaiannya akan mengacu pada mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam kontrak. Bisa melalui negosiasi, mediasi, atau bahkan melalui jalur hukum (litigasi) jika tidak ada kesepakatan yang tercapai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *