data-sourcepos=”5:1-5:447″>case.web.id – Keterasingan emosional dalam pernikahan bisa jadi adalah kenyataan pahit yang perlahan merayap tanpa disadari. Dulu, mungkin kita merasa memiliki belahan jiwa, seseorang yang memahami setiap tatapan dan helaan napas. Namun, seiring waktu, jarak tak kasat mata mulai terbentuk, mengubah keintiman menjadi kehampaan. Fenomena ini umum terjadi dan penting untuk dipahami fase-fasenya agar kita bisa mengambil langkah yang tepat sebelum terlambat.
Awal Mula: Ketika Percikan Itu Mulai Meredup
Mungkin kita ingat betul masa-masa awal pernikahan, di mana setiap interaksi terasa magis dan penuh gairah. Namun, kesibukan rutinitas, tekanan pekerjaan, atau bahkan kehadiran anak bisa secara perlahan mengikis intensitas tersebut. Fase awal keterasingan emosional seringkali ditandai dengan berkurangnya komunikasi yang mendalam. Obrolan sehari-hari masih ada, tapi diskusi tentang perasaan, harapan, dan ketakutan mulai jarang terdengar.
Kita mungkin mulai merasa tidak lagi menjadi prioritas utama pasangan. Perhatian yang dulu tercurah kini terbagi dengan berbagai hal lain. Sentuhan fisik yang dulu penuh makna bisa jadi terasa meredup atau bahkan menghilang sama sekali. Pada fase ini, mungkin kita masih menganggapnya sebagai hal yang wajar, bagian dari dinamika pernikahan yang berubah seiring waktu. Namun, jika dibiarkan berlarut-larut, fondasi emosional yang kuat akan semakin rapuh.
Fase Kedua: Hidup Bersama Namun Terasa Sendiri
Ketika komunikasi mendalam semakin menghilang, kita memasuki fase di mana kita dan pasangan mungkin masih tinggal di bawah atap yang sama, bahkan berbagi tempat tidur, namun secara emosional terasa sangat jauh. Kita mungkin berhenti menceritakan hari kita, berbagi kekhawatiran, atau bahkan merayakan pencapaian bersama. Ada dinding tak terlihat yang memisahkan kita, membuat kita merasa sendirian meskipun berada di dekat orang yang seharusnya menjadi sandaran.
Dalam fase ini, kita mungkin mulai mencari pemenuhan emosional di luar hubungan pernikahan. Fokus kita bisa beralih ke pekerjaan, hobi, teman, atau bahkan media sosial. Tanpa disadari, kita menciptakan dunia sendiri yang semakin menjauhkan kita dari pasangan. Konflik mungkin masih terjadi, namun seringkali berkutat pada hal-hal permukaan dan jarang menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya, yaitu hilangnya koneksi emosional.
Menurut data dari berbagai penelitian tentang kepuasan pernikahan, penurunan komunikasi yang berkualitas adalah salah satu faktor utama yang berkontribusi pada perasaan terasing dalam hubungan. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Social and Personal Relationships menunjukkan bahwa pasangan yang jarang melakukan percakapan yang bermakna cenderung memiliki tingkat kebahagiaan pernikahan yang lebih rendah.
Puncak Keterasingan: Ketika Kata ‘Kita’ Mulai Memudar
Fase puncak keterasingan emosional adalah kondisi yang paling menyakitkan. Di sini, kita dan pasangan mungkin sudah benar-benar hidup seperti dua orang asing yang berbagi ruang. Empati dan pengertian hampir tidak ada. Kita mungkin merasa tidak lagi dipedulikan, tidak dihargai, atau bahkan tidak dicintai oleh orang yang pernah menjadi segalanya.
Komunikasi menjadi sangat minim atau bahkan hanya seputar hal-hal praktis terkait kehidupan sehari-hari. Tidak ada lagi tawa bersama, impian yang dibagi, atau dukungan emosional saat salah satu dari kita sedang mengalami kesulitan. Kata ‘kita’ dalam percakapan mungkin mulai jarang terdengar, digantikan oleh ‘aku’ dan ‘kamu’ yang semakin tegas memisahkan.
Pada fase ini, pikiran tentang perpisahan mungkin mulai terlintas. Kita mungkin merasa bahwa hidup akan lebih baik tanpa adanya hubungan yang terasa hampa ini. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), angka perceraian di Indonesia menunjukkan tren yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun banyak faktor yang melatarbelakanginya, keterasingan emosional seringkali menjadi salah satu pemicu utama.