Binkam

Haidar Alwi Ingatkan Presiden Prabowo Bahwa Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP Berpotensi Memicu Gejolak

×

Haidar Alwi Ingatkan Presiden Prabowo Bahwa Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP Berpotensi Memicu Gejolak

Sebarkan artikel ini
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi
Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi

Jakarta – Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, mengingatkan Presiden Prabowo Subianto bahwa revisi Undang-Undang Kejaksaan dan KUHAP dapat memicu gejolak serius jika tidak ditangani dengan bijak. Ia khawatir bahwa peristiwa demonstrasi besar-besaran tahun 2019 bisa kembali terulang.

“Sebelum terlambat, kita harus mengingatkan Presiden Prabowo Subianto agar jangan sampai tragedi 2019 terulang kembali. Apalagi ini adalah tahun pertama pemerintahan beliau, dan Presiden tentu tidak menginginkan adanya gejolak, apalagi sampai terjadi tragedi,” ujar R Haidar Alwi dalam pernyataannya, Selasa (4/2/2025).

Kekhawatiran ini muncul setelah DPR memasukkan revisi UU Kejaksaan yang diusulkan oleh Komisi III dan revisi KUHAP yang diusulkan oleh Badan Legislasi ke dalam 41 program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2025. Haidar menilai bahwa aturan baru tersebut berpotensi mengubah keseimbangan sistem hukum di Indonesia.

Dominus Litis: Solusi atau Ancaman?

Salah satu poin krusial dalam revisi UU Kejaksaan adalah penerapan asas dominus litis, yang memberikan kejaksaan kewenangan penuh dalam perkara pidana. Haidar mengingatkan bahwa meski asas ini dapat meningkatkan efektivitas hukum dengan mengurangi proses bolak-balik berkas antara penyidik dan jaksa, di sisi lain, aturan ini bisa menyebabkan tumpang tindih kewenangan.

“Justru ini yang menjadi masalah. Bukannya memperkuat penegakan hukum, aturan ini malah bisa melucuti kewenangan kepolisian dan kehakiman,” tegas Haidar.

Jika revisi ini disahkan, jaksa akan memiliki kewenangan luas, termasuk:

  • Menyelidiki dan menyidik perkara sendiri,
  • Mengintervensi penyidikan yang dilakukan kepolisian,
  • Menentukan kapan suatu perkara naik penyelidikan dan penyidikan,
  • Memutuskan apakah suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan,
  • Menentukan sah atau tidaknya penangkapan dan penyitaan yang selama ini menjadi kewenangan kehakiman.

Menurut Haidar, kewenangan besar tanpa mekanisme checks and balances yang jelas bisa membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang. “Ini bisa menjadi celah bagi tekanan politik, kepentingan pribadi, hingga praktik korupsi yang melibatkan elit,” tambahnya.

Jaksa Menuju Lembaga Superbody?

Saat ini, kejaksaan telah memiliki peran dalam menangani perkara korupsi dari penyelidikan hingga penuntutan, serupa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, jika revisi UU Kejaksaan dan KUHAP disahkan, kewenangan kejaksaan akan semakin luas hingga ke ranah penyidikan.

“Jika jaksa bertindak sebagai penyidik tindak pidana tertentu, mereka harusnya berkoordinasi dengan penyidik kepolisian sebagai Korwas PPNS sesuai dengan KUHAP. Namun, apakah itu sudah berjalan sesuai aturan?” tanya Haidar.

Haidar menilai bahwa KUHAP selama ini telah mengatur pemisahan fungsi penyidikan dan penuntutan. Jika kejaksaan mengambil alih kewenangan penyidikan yang selama ini dipegang kepolisian, maka batasan antara lembaga penegak hukum menjadi semakin kabur. “Jika revisi ini disahkan, maka kejaksaan bukan hanya menyaingi KPK dalam perkara korupsi, tetapi juga mengambil alih kewenangan kepolisian dan kehakiman,” ungkapnya.

Gelombang Penolakan dari Publik

Kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan oleh Haidar Alwi. Di dunia maya, gelombang penolakan terhadap revisi UU Kejaksaan dan KUHAP semakin meluas. Petisi online yang menolak penerapan asas dominus litis telah ditandatangani oleh hampir 40 ribu orang hingga sore ini.

Menurut Haidar, jika DPR dan pemerintah tetap bersikeras mengesahkan revisi ini tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, maka penolakan di dunia maya bisa menjelma menjadi aksi nyata. “Bila revisi ini disahkan secara diam-diam, kemarahan publik akan semakin memuncak,” ujarnya.

Sebagai catatan, enam tahun lalu, Indonesia telah mengalami gelombang demonstrasi besar-besaran akibat revisi UU KPK dan KUHP. Kala itu, ribuan mahasiswa turun ke jalan menolak regulasi yang dianggap melemahkan KPK. Akibat bentrokan dengan aparat, terjadi kerusakan fasilitas umum, terganggunya stabilitas keamanan, serta jatuhnya korban luka dan jiwa.

“Kita tentu tidak ingin tragedi itu terulang. Mobilitas masyarakat terganggu, stabilitas keamanan terganggu, dan lebih parahnya lagi, korban jatuh dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Kita harus belajar dari pengalaman,” ujar Haidar.

Harapan untuk Regulasi yang Berkeadilan

Sebagai solusi, Haidar menekankan bahwa revisi UU Kejaksaan dan KUHAP seharusnya ditujukan untuk memperkuat transparansi dan kesetaraan dalam sistem peradilan pidana, bukan justru memperbesar dominasi satu institusi.

“Jika revisi ini benar-benar bertujuan memperbaiki sistem hukum, maka harus ada keseimbangan antara kejaksaan, kepolisian, dan kehakiman. Bukan justru menciptakan lembaga superbody yang rentan disalahgunakan,” pungkasnya.

Dengan kontroversi yang terus berkembang, publik kini menanti langkah pemerintah dan DPR. Apakah revisi ini akan tetap dipaksakan atau justru dibuka ruang dialog yang lebih luas untuk memastikan keadilan hukum bagi semua pihak?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *